Senin, 07 Juli 2014

Makam Kapitan Batavia Pertama Souw Beng Kong

Pada 30 Mei 1619, saat VOC berhasil mengalahkan pangeran Jayakarta dan merebut kota bandarnya, Gubernur Jendral saat itu, Jan Pieterzoon Coen menginginkan pembangunan fisik dan menggulirkan roda perekonomian dan kehidupan kota dilakukan. Untuk membangun kota bandar, sang Gubernur Jendral pun melirik pada seorang saudagar lada Tionghoa, yang telah sukses di kawasan Banten. Sang pengusaha tersebut bernama Souw Beng Kong atau So Bing Kong atau Su Ming Kang, telah menjadi saudagar muda yang kaya raya dan tokoh Tionghoa terkemuka, serta memiliki hubungan erat dengan Kesultanan Banten saat itu. Souw Beng Kong terpilih untuk membantu J.P Coen membangun kota dikarenakan sifatnya yang cerdas, ulet, rajin dan bervisi luas. Pada perkembangan kota bandar, masyarakat Tionghoa berperan dalam memajukan kehidupan kota terutama dalam bidang ekonomi, sehingga kota tersebut menjadi salah satu kota bandar yang terkenal di dunia. J.P.Coen pun melihat perlunya seorang pemimpin yang mengatur kehidupan masyarakat Tionghoa terutama berkenaan dengan kematian, pernikahan dan kegiatan sosial kemasyarakatan lainnya. Karena itu setelah Souw Beng Kong membantu J.P Coen mengembangkan kota bandar, yang dikenal sebagai Batavia, sang saudagar kemudian diangkat menjadi Kapitan Tionghoa pertama.  Souw Beng Kong kemudian menjadi sahabat J.P.Coen dan sering berperan sebagai diplomat dalam hubungan Belanda dengan Banten-Inggris. Dia juga yang mengembangkan perdagangan antara Taiwan dengan Batavia pada masa akhir Dinasti Ming. Souw Beng Kong menjadi Kapitan Tionghoa pada periode 1619 – 1640. Sang Kapitan sekaligus saudagar yang memiliki dua orang isteri perempuan Bali ini, wafat pada 1644, dikarenakan sakit dan dimakamkan di kebunnya sendiri.



Foto : Diyah Wara, 2013

Pasar Pagi Asemka, Jakarta Barat

Sejak masa kolonial, masyarakat Tionghoa banyak tinggal dan beraktivitas di sekitar pasar. Tidak mengherankan apabila di daerah pasar-lah kita masih menjumpai bangunan berasitektur Tionghoa. Salah satu pasar lama yang menjadi tempat berdagang dan bermukim orang Tionghoa yaitu Pasar Pagi Asemka. Bangunan ini sekarang sudah menjadi modern namun mengambil ciri arsitektur Tionghoa dengan pemakaian warna merah, hijau dan kuning serta ornamen khas Tionghoa. Beberapa bangunan rumah toko masih terlihat beratap pelana.

Foto : Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Propinsi DKI Jakarta, 1940

Pasar Pagi Asemka di Tahun 2013. Foto : William Wiranta 


Klenteng Tan Seng Ong atau Vihara Tanda Bhakti, Jakarta Barat

Bangunan di kawasan Perniagaan ini, sering disebut Klenteng Tan Seng Ong atau sering Vihara Tanda Bhakti. Klenteng ini di bangun pada 1650 oleh Tan Seng Ong, pendiri perkumpulan marga Tan (Chen) di Indonesia. Yang menarik dari bangunan klenteng ini yaitu masih mengikuti gaya bangunan Cina yang memiliki court yard di belakang bangunan utama.
Foto : Diyah Wara, 2012

Toko Obat Lay An Tong, Perniagaan Jakarta Barat

Bangunan berlokasi di perniagaan ini, dahulu dipergunakan sebagai toko obat terkenal bernama Lay An Tong. Sekarang bangunan difungsikan sebagai gudang penyimpanan alat-alat elektronik.

Foto : William Wiranta, 2013

Yayasan Setia Dharma Marga Jembatan Batu Jakarta Barat

Bangunan ini dikenal para pecinta sejarah dan bangunan tua sebagai “Rumah Papan Arwah”. Sebetulnya bangunan ini merupakan rumah abu milik yayasan masyarakat Tionghoa bernama Setia Dharma Marga. Di tempat ini menariknya masih tersimpan ratusan papan peringatan orang-orang yang sudah meninggal dari beberapa warga, yang dikenal sebagai Shen Zhu Pai (Shen:alam roh, zhu: majikan/pemilik dan pai:peringatan/pengenal) , berisi informasi tentang nama marga, jumlah anak dan nama-namanya serta tahun meninggal orang yang telah meninggal. Rumah abu dikawasan Jembatan Batu, Jakarta Barat ini kondisinya kurang terawat dan berada didalam sebuah sekolah dasar. 

Foto : Diyah Wara, 2013

Klenteng Lu Ban Bio, Pinangsia Jakarta Barat

Lu Ban Bio, nama bangunan klenteng di kawasan Pinangsia ini, dikenal sebagai klenteng tukang kayu, karena dewa pada klenteng ini adalah Lu Pan, dewa nya para tukang kayu dan mebel. Klenteng ini di dirikan pada 1860 oleh masyarakat Tionghoa yang mengembangkan usahanya di bidang perkayuan dan pembangunan kapal di Jakarta. 

Foto : Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Propinsi DKI Jakarta, 1939

PT Sari Rasa, Jalan Tiang Bendera, Jakarta Barat

Salah satu bangunan berarsitektur Tionghoa tersisa di jalan Tiang Bendera, Jakarta Barat yaitu bangunan berpagar hijau ini. Bangunan yang pada dindingnya tertera tulisan N.V.Handel MIJ Seng Tek Tjan, kemungkinan nama perusahaan pada masa kolonial, sekarang difungsikan sebagai perusahaan teh bunga bernama PT Sari Rasa. Bangunan ini hanya tinggal tersisa bagian depan. Sedangkan bagian dalam sudah direnovasi. 

Foto : Diyah Wara, 2013

Klenteng Wan Jie Si atau Vihara Buddhayana Lautze Jakarta Pusat

Bangunan berarsitektur art deco ini dahulu merupakan rumah peristirahatan (mansion) Fredrik Julius Coyet yang didirikan pada 1736. Pemilik mansion kemudian menghiasi rumah dengan beberapa patung Buddha dan Hindu yang diperoleh sebagai hadiah. Patung-patung tersebut masih bisa dilihat sampai sekarang dalam altar yang dilapisi kaca. Dari berita masa lalu, mansion dimiliki oleh Gubernur Jendral Jacob Mossel pada 1761, berpindah tangan ke Simon Josephe dan menjualnya pada kapitan Tionghoa Lim Tjipko. Pada 1880, rumah ini dimiliki Gong-guan (dewan orang Tionghoa) dan dijadikan klenteng sampai saat ini. Bangunan ini dikenal dengan nama Klenteng Wan Jie Si atau Vihara Buddhayana. Altar utama di klenteng ini terdapat patung dewa Thit Cong dalam posisi duduk dengan tangan posisi bersemedi didepan dada dan sebuah bola ditelapak tangan, patung dewi Kuan Im, dalam posisi duduk diatas teratai dan patung dewa Uh Fang dalam posisi duduk dengan kaki kiri ditekuk. Klenteng ini berlokasi di daerah Lautze, Jakarta Pusat.

Foto : Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Propinsi DKI Jakarta, 1939

Klenteng Sin Tek Bio Pasar Baru

Bangunan ibadat masyarakat Tionghoa ini memiliki nama asli asli Sin Tek Bio. Berlokasi di Pasar Baru, klenteng Sin Tek didirikan sekitar tahun 1698 oleh para petani Tionghoa yang bermukim di luar pusat kota Batavia (nama Jakarta pada masa kolonial). Sin Tek Bio berisi ratusan patung dewa dari abad ke-17 dan ke-20. Dewa utama klenteng ini,  Hok Tek Ceng Sung (Fu de Zheng shen) atau Tu di Gong/Thouw te Kong (Dewa Bumi/Sin Beng/Shen Ming). Awalnya klenteng ini merupakan klenteng kecil. Di depan klenteng terdapat dua patung singa penjaga (Bao-gu-shi), dan terlihat ukiran 2 ekor naga melilit di tiang utama bangunan ketika masuk ke dalam. 
Bangunan klenteng Sin Tek Bio ini tidak terlihat dari kawasan pejalan kaki Pasar Baru, karena letaknya di belakang toko-toko yang berjejer sepanjang jalan. Sin Tek Bio berisi ratusan patung dari abad ke-17 dan ke-20 ini, terdiri dari dua lantai, dengan 14 altar di ruang utama dan 14 altar di ruang atas. Adanya altar yang banyak memberikan pilihan bagi umat yang ingin berdoa, sehingga tidak perlu berdesak-desakan pada waktu-waktu khusus, misalnya Sincia. 
Hok Tek Ceng Sin menurut catatan sejarah, merupakan dewa favorit bagi orang Tionghoa, terutama bagi para petani dan pedagang. Petani menganggapnya sebagai dewa pelindung bumi (tanaman) sedangkan pedagang menganggapnya dewa pemasok rejeki dan masyarakat umum menganggapnya sebagai dewa keselamatan dan kesejahteraan. Penampilan Hok Tek Ceng Sin sendiri biasanya ditampilkan sebagai kakek berambut dan berjenggot putih dengan wajah tersenyum ramah, berpakaian hartawan dan bertopi. Ia memegang sebatang emas di tangan kiri dan tongkat di tangan kanan. 
Dengan adanya altar Hok Tek Ceng Sin, maka Sin Tek Bio merupakan klenteng yang dianggap penting dalam perkembangan masyarakat Tionghoa di Passer Baroe yang sebagian besar adalah pedagang dan petani. 
Di dalam klenteng ini juga dapat ditemukan altar tokoh-tokoh lokal, seperti  Mbah Raden Suria Kencana Winata, yang merupakan tokoh lokal ternama di kota Bogor. Menurut salah satu penjaga klenteng, penempatan altar tokoh lokal adalah suatu penghormatan para pendatang dari Tiongkok kepada wilayah dimana mereka tinggal. Altar ini merupakan bentuk akulturasi kepercayaan pendatang dan kepercayaan lokal. 

Foto : Diyah Wara, 2013

Bangunan Pizza Hut Atrium Senen Jakarta Pusat

Bangunan yang berlokasi di kawasan Atrium Senen ini konon merupakan kediaman seorang Kapitan Tionghoa pada abad ke-19 bernama Kapitan Wang Seng. Pada masa itu sampai dengan tahun 1970-an, jalan di sekitar situ terkenal dengan nama Gang Wang Seng. Disitu pula, masyarakat Tionghoa bermukim dan beraktivitas. Sayangnya sejarah kawasan tersebut tinggal kenangan, karena pada tahun 1970-an, pemerintahan orde baru menggusur pemukiman di kawasan tersebut dan menggantikannya dengan mal yang dikenal dengan nama Atrium Senen. Hanya tinggal bangunan ini yang tersisa dan disewa oleh pihak Pizza Hut sebagai salah satu restorannya. Sebelumnya bangunan ini ditempati oleh PT Jaya Gas.

Foto : Diyah Wara, 2013

Musoleum O.G.Khouw Petamburan Jakarta Barat

Musoleum Khouw Oen Giok atau sering di kenal sebagai O.G.Khouw, yang  merupakan satu-satunya mausoleum yang di miliki Indonesia. Saat ini konservasi mausoleum ini dilakukan oleh Love Our Heritage secara rutin dengan mengadakan kegiatan “Bakti Royong” setiap sebulan sekali. Musoleum ini memiliki bangunan yang sangat megah, karena semua marmernya di impor langsung dari Italy dan dikerjakan selama 3 tahun dengan biaya f 200 000 (gulden), serta memiliki ruangan bawah tanah yang merupakan tempat penyimpanan jenazah O.G Khouw dan sang isteri, pada masa lalu. Pada 1980-an, pihak keluarga mengambil jenazah  keduanya dan mengkremasi nya lalu meletakkan kembali di ruang bawah tanah tersebut. Sampai saat ini abu keduanya masih berada di ruangan tersebut, yang saat ini sudah ditutup sepenuhnya dengan marmer putih. Sedangkan potret keduanyasebatas kepala, di ukir pada dinding marmernya. O.G.Khouw yang meninggal di Ragaz, Swiss, 1 Mei 1927 ini merupakan warga Tionghoa yang kaya raya pada jaman Belanda. Diketahui memiliki tanah dan perkebunan tebu yang luas di daerah Tambun, Bekasi. Beliau juga merupakan pendiri rumah sakit Jang Seng Ie yang sekarang bernama RS Husada di Mangga Besar,  pemilik bank The Kie Bank di jalan pintu besi, Jakarta Pusat dan pendiri sekolah Tionghoa berbahasa Belanda, Hollandsche Chineesche School (HCS) pertama di Batavia pada 1908. 

Sketsa : Aditya Faturrochman

SMA 19 - Sekolah Tionghoa Pa Hoa


Pada masa pemerintahan Orde Baru, banyak bangunan tua Tionghoa terutama bangunan sekolah diambil oleh pemerintah. Salah satunya bangunan sekolah Tiong Hoa Hwee Koan (THHK), sebuah perkumpulan yang didirikan pada 17 Maret 1900, yang terletak di Patekoan, Jakarta Barat. Gedung yang didirikan pada tahun 1901 ini dulu sering disebut dengan Tiong Hoa Hak Tong atau Pa Hoa, dan sekarang bernama SMA 19. Bangunan pada tahun 1960-an di pugar menjadi permanen, yang tadinya merupakan kayu dengan model bangunan Tionghoa. Pada pintu SMA Negeri ini, tadinya terdapat dua patung singa (cioh-sai/shishi) namun hilang pada tahun 1960-an, setelah peristiwa 1965.

Tiong Hoa Hwee Koan (THHK) ini terbentuk dari kesadaran dari orang-orang Tionghoa akan identitas mereka yang merupakan imbas dari gerakan Seratus Hari Pembaruan di Cina, yang pengaruhnya hingga ke Indonesia. Gerakan ini bertujuan melakukan pembaruan Konfusianisme dan menjadikan Cina sebagai kerajaan konstitusional. Sekolah Pa Hoa merupakan sekolah dengan metode pengajaran yang lebih modern.  
Foto : Pusat Dokumentasi Arsitektur (PDA), 2003

Rumah Keluarga Souw

Rumah di kawasan Patekoan, Jakarta Barat ini sering dikunjungi oleh para pecinta sejarah atau wisatawan yang berkunjung ke kawasan pecinan Jakarta. Tidak mengherankan karena berdasarkan catatan sejarah dan cerita para tetua, rumah ini merupakan peninggalan dari kapitan Tionghoa bermarga Souw. Tidak hanya itu rumah ini merupakan salah satu rumah dengan arsitektur Tionghoa tersisa di Jakarta. Sebagian bangunan sudah disewa orang lain untuk praktek dokter sedangkan sisa bagian bangunan lainnya masih ditempati oleh keturunan keluarga Souw. Pada masa dulu kala dikisahkan bahwa nyonya rumah keluarga Souw sering menyiapkan air dengan delapan tempat air (pa = delapan, teko = tempat air) di depan rumahnya untuk para pesinggah yang lewat di depan rumahnya. Sampai sekarang rumah kediaman keluarga Souw masih dapat dilihat dengan bangunan asli memiliki atap berbentuk ekor wallet, yang melambangkan bahwa pemilik rumah memiliki kedudukan sosial yang tinggi dalam masyarakat saat itu.

Foto : William Wiranta 

Minggu, 06 Juli 2014

Toko Lay Pasar Baru


Sebuah toko berasitektur Tionghoa di Pasar Baru bernama Lay. Sekarang toko ini sudah berubah menjadi toko modern, tanpa menyisakan sama sekali bangunan lama. Foto diambil tahun 1941. 

Foto : Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Propinsi DKI Jakarta 

Klenteng Jin De Yuan - Pancoran


Klenteng Kim Tek (artinya Klenteng Kebajikan Emas) atau Jin de Yuan (dalam bahasa Mandarin). Awalnya nama klenteng ini adalah Kwan Im Teng, dengan dewa pada altar utama yaitu Kwan Im.  Klenteng ini merupakan salah satu klenteng terlama dan terbesar di Jakarta, sudah berdiri sejak 1650. Pada tahun 1740, klenteng ini di bakar dan dirusak, sejalan dengan peristiwa pembantaian masyarakat Tionghoa di Batavia. Baru pada tahun 1755 klenteng ini di pugar dan diberi nama Kim Tek Ie. 


Foto : Diyah Wara, 2013

Gereja Santa Maria De Fatima


Pemerintah DKI Jakarta telah menetapkan sebanyak 59 bangunan tua Tionghoa sebagai Bangunan Cagar Budaya (BCB), sesuai dengan SK Gubernur No.475 Tahun 1993. Salah satu BCB yang masih terawat dengan baik yaitu Gereja Katolik Santa Maria de Fatima, Toasebio, Jakarta Barat. Bekas rumah Luitenant der Chineezen she/marga Tjioe/Zhou yang dijadikan sebagai gereja Katolik. Satu-satunya gereja lama yang menyelenggarakan misa dalam bahasa Mandarin. Di gereja ini, kita dapat melihat konstruksi bangunan gereja yang merupakan konstruksi bangunan Tionghoa, seperti bagian atapnya, bedanya terdapat salib di atas atapnya. Didalamnya, arsitektur Tionghoa juga masih digunakan. Gua Bunda Maria di depan gereja ini merupakan bangunan tambahan. Gereja ini di bagian depan masih digunakan untuk misa, dan ada misa khusus berbahasa Mandarin, yaitu setiap Minggu pukul 15.30 sore. Bagian belakang gereja digunakan untuk tempat tinggal para pastur.
 Berdasarkan informasi dari Bapak David Kwa, praktisi dan pengamat budaya Tionghoa, gedung ini merupakan kediaman Mayor Tionghoa kedua di batavia Tan Tjoen Tiat (masa jabatan 1865-1879) yang menggantikan Mayor Tionghoa Tan Eng Goan (masa jabatan 1837 – 1865). Gedung ini kemudian dibeli oleh keluarga Tjioe dan pasca 1950 dijual kepada pihak gereja Katolik

Foto : Diyah Wara, 2013

Glodok - Pecinan Jakarta


Beberapa bangunan tua Tionghoa di Jakarta terutama yang berada di daerah pemukiman orang Tionghoa sejak masa lampau mengalami kerusakan parah ketika terjadi peristiwa Mei di tahun 1998. Salah satu daerah tersebut yaitu Glodok, Jakarta Barat. Padahal Glodok sudah menjadi kawasan Cagar Budaya sesuai dengan SK Gubernur No.475 Tahun 1993. Glodok saat ini dikenal sebagai daerah Pecinan Jakarta, karena disana pusat barang-barang etnik Tionghoa diperdagangkan sekaligus tempat wisata religi dan kuliner khas Tionghoa. 

Glodok resmi menjadi pemukiman orang Tionghoa setelah peristiwa pembunuhan massal pada masyarakat Tionghoa terjadi di tahun 1740. Sejak dulu kawasan ini memiliki lokasi yang strategis sehingga tidak hanya orang Tionghoa yang berkegiatan di kawasan tersebut tapi juga orang Eropa dan orang etnik lain. 


Foto : Pancoran pada tahun 1930, koleksi foto Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Propinsi DKI Jakarta